Electronic Funds Transfer Systems (EFTS) sudah menjadi metode utama
yang melibatkan pembayaran dana dalam jumlah besar yang dilakukan
lembaga keuangan dan nasabah bisnisnya. EFT didefinisikan sebagai
pemindahan dana yang diawali dari terminal elektronik, instrument
telpon, computer, atau magnetic tape untuk memesan, memerintahkan, atau
memberikan kewenangan kepada lembaga keuangan untuk mendebet atau
mengkredit rekening. Kemampuan lembaga keuangan untuk menyediakan
jasa-jasa tersebut seiring dengan perkembangan teknologi computer dan
teknologi komunikasi data.
FEDWIRE
Fedwire adalah jaringan pemindahan dana dan surat-surat berharga
berskala nasional yang diselenggarakan oleh bank sentral Amerika Serikat
yang dikenal sebagai Federal Reserve. Sistem ini terhubung ke 12 bank
sentral Negara bagian dengan banyak lembaga keuangan yang tergabung
dalam jaringan tersebut yang memiliki cadangan atau rekening kliring di
Fedres. Fedwire memproses hampir US$1.4 trillion per hari dalam bentuk
dana dan surat-surat berharga. Sistem pemindahan dana melalui Fedwire
menyediakan transfer elektronik antar lembaga keuangan dan mempunyai
fungsi baik sebagai proses kliring maupun pengendapan dananya
(settlement). Pelayanan Fedwire bisa diakses melalui computer interface
secara langsung atau secara off-line dari pesawat telpon melalui system
pengiriman elektronik berbasis PC yang dikenal sebagai Fedline. Beberapa
karakteristik Fedwire adalah sebagai berikut:
• Sistem pembayaran secara real-time dari Federal Reserve
• Digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan yang memiliki rekening di Federal Reserve
• Digunakan terutama untuk pemindahan dana yang relative besar yaitu dengan rata-rata sebesar $3.5M
• Koneksi On-line yang mencakup 7800 institusi dan 99% transfer memakai koneksi ini:
– Direct connection
– Computer dialup
• Koneksi Off-line mencakup 1700 institutions dan 1% of transfers
– Instruksi telpon dengan katasandi tertentu
• Akses FedLine dari PCs
• Beberapa layanan lainnya berbasis Web tetapi bukan jasa pemindahan dananya
Peserta Fedwire
• Lembaga Depository
• Agen atau cabang bank-bank asing
• Bank anggota dari Federal Reserve System
• U.S. Treasury dan authorized agencies
• Bank sentral Negara lain, otoritas moneter Negara lain,
pemerintahan Negara lain, organisasi internasional tertentu; serta
• Pihak lain yang disahkan oleh Reserve Bank
Mekanisme Kerja Fedwire
CHIPS
Clearing House Interbank Payment System (CHIPS) adalah jaringan
pemindahan dana yang dimiliki dan dioperasikan oleh (NYCHA) untuk
mengirim dan menerima pembayaran dalam U.S. dollar antara bank-bank,
baik bank domestik maupun bank asing, yang mempunyai kantor di kota New
York. Beberapa informasi lain mengenai CHIPS ini adalah sebagai berikut:
– Dimiliki pihak swasta
– Mencakup 128 banks di 29 negara
– Total $1.44T dipindahkan perhari dengan rata-rata transaksi sebesar $6.6M
– Biaya transaksi berkisar antara $0.13 – $0.40
Mekanisme Operasi CHIPS
CHIPS merupakan system pembayaran netto multilateral. Tidak seperti
Fedwire, pemindahan dana melalui CHIPS tidak diendapkan pada saat
instruksi pembayaran dikirimkan, tetapi baru diendapkan pada akhir hari
melalui net settlement arrangement dilaksanakan bersama Bank sentral
Negara bagian New York.
SWIFT
Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications (SWIFT)
adalah kerjasama nir laba dari anggota bank yang melayani jaringan
telekomunikasi antar bank, yang berbasis di Brussels Belgia. Tidak
seperti EFT systems, SWIFT hanya menyediakan instruksi untuk melakukan
pemindahan dana. SWIFT tidak memiliki mekanisme penyerahan dana
(settlement). Pemindahan dana aktualnya dilaksanakan melalui pendebetan
atau pengkreditan terhadap rekening bersangkutan pada lembaga peserta
jaringan. Beberapa data atau penjelasan ringkas mengenai SWIFT adalah
sebagai berikut:
• Mencakup 7125 lembaga di 193 negara
• Sebanyak 1.27 milyar pesan per tahun dengan nilai dana $5 triliun per hari
• Biayat ~ $0.20 per pesan
• Menggunakan X.25 packet protocol
• Mulai mengarah ke full IP network pada tahun 2002
CHAPS
CHAPS (Clearing House Automated Payment System) adalah sistem
pemindahan elektronik untuk pengiriman pembayaran antar bank di hari
yang sama. Sistem ini beroperasi dengan bekerja sama dengan Bank of
England dalam menyediakan jasa pembayaran dan penyelesaiannya. System
yang sudah dikemabngkan sejak tahun 1984 ini merupakan salah satu system
pembayaran seketika yang terbesar setelah Fedwire di Amerika Serikat.
Beberapa perkembangan mengenai system selama kurun waktu sepuluh tahun
mulai 1990 dapat dilihat pada table berikut:
TARGET
TARGET, singkatan dari Trans-European Automated Real-time Gross settlement Express Transfer system,
adalah system pembayaran seketika untuk mata uang euro di eropa. Sistem
ini terdiri dari 15 RTGS nasional negara-negara di Eropa. TARGET system
seketika (a real-time system) yang dalam kondisi normal pembayaran akan mencapai tujuan dalam beberapa menit saja atah bahkan detik.
Kamis, 13 Desember 2012
Minggu, 09 Desember 2012
Mengenal BI-SSSS
BI-SSSS merupakan sarana transaksi
dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan Surat
Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta,
Penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS).
BI-SSSS menggabungkan sistem transaksi Bank Indonesia dengan sistem penatausahaan Surat Berharga. Kegiatan transaksi Bank Indonesia, mencakup (i) pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank, dan (iii) pelaksanaan transaksi Surat Berharga Negara (SBN) untuk dan atas nama Pemerintah. Sementara kegiatan penatausahaan Surat Berharga mencakup kegiatan (i) setelmen, (ii) registrasi kepemilikan, dan (iii) pembayaran kupon/pelunasan Surat Berharga. Kegiatan transaksi dan penatausahaan dilakukan dalam satu sistem yang terintegrasi dan terhubung langsung (on-line) antara Bank Indonesia dengan para pelaku pasar. Selain itu, BI-SSSS mencakup juga sistem informasi antar peserta dan penyelenggara BI-SSSS, sistem setelmen surat berharga dan sistem penatausahaan surat berharga.
Setelmen Surat Berharga melalui BI-SSSS dilakukan secara seamless dengan sistem setelmen dana Peserta melalui Sistem Sistem BI-RTGS yang memungkinkan Peserta BI-SSSS memanfaatkan fasilitas setelmen secara Delivery Versus Payment (DVP) yang dapat dilakukan secara cepat dan seketika sehingga risiko setelmen Surat Berharga dapat diminimalkan.
Sesuai dengan fungsinya, peserta BI-SSSS terdiri dari; (i) peserta penerbit yaitu Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, (ii) peserta transaksi yaitu Bank Indonesia, bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek, serta Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan (iii) peserta transaksi dan sekaligus sebagai pemilik rekening surat berharga yaitu Bank Indonesia, bank dan Sub-Registry.
Pengembangan BI-SSSS mengacu pada standar internasional yaitu Recommendations for securities settlement systems dari Committee of Payment and Settlement System (CPSS) dan The International Organization of Securities Commissions (IOSCO ). BI-SSSS selalu melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap aplikasi-aplikasinya untuk mengakomodasi kebutuhan perkembangan pasar keuangan domestik. (Sumber Bank Indonesia)
BI-SSSS menggabungkan sistem transaksi Bank Indonesia dengan sistem penatausahaan Surat Berharga. Kegiatan transaksi Bank Indonesia, mencakup (i) pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank, dan (iii) pelaksanaan transaksi Surat Berharga Negara (SBN) untuk dan atas nama Pemerintah. Sementara kegiatan penatausahaan Surat Berharga mencakup kegiatan (i) setelmen, (ii) registrasi kepemilikan, dan (iii) pembayaran kupon/pelunasan Surat Berharga. Kegiatan transaksi dan penatausahaan dilakukan dalam satu sistem yang terintegrasi dan terhubung langsung (on-line) antara Bank Indonesia dengan para pelaku pasar. Selain itu, BI-SSSS mencakup juga sistem informasi antar peserta dan penyelenggara BI-SSSS, sistem setelmen surat berharga dan sistem penatausahaan surat berharga.
Setelmen Surat Berharga melalui BI-SSSS dilakukan secara seamless dengan sistem setelmen dana Peserta melalui Sistem Sistem BI-RTGS yang memungkinkan Peserta BI-SSSS memanfaatkan fasilitas setelmen secara Delivery Versus Payment (DVP) yang dapat dilakukan secara cepat dan seketika sehingga risiko setelmen Surat Berharga dapat diminimalkan.
Sesuai dengan fungsinya, peserta BI-SSSS terdiri dari; (i) peserta penerbit yaitu Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, (ii) peserta transaksi yaitu Bank Indonesia, bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek, serta Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan (iii) peserta transaksi dan sekaligus sebagai pemilik rekening surat berharga yaitu Bank Indonesia, bank dan Sub-Registry.
Pengembangan BI-SSSS mengacu pada standar internasional yaitu Recommendations for securities settlement systems dari Committee of Payment and Settlement System (CPSS) dan The International Organization of Securities Commissions (IOSCO ). BI-SSSS selalu melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap aplikasi-aplikasinya untuk mengakomodasi kebutuhan perkembangan pasar keuangan domestik. (Sumber Bank Indonesia)
Rabu, 07 November 2012
Bye Laws - The National Clearing System
Today, a customer at one bank is able to transfer
funds between banks quickly, securely and a low cost, anywhere in
Indonesia. This became possible after Bank Indonesia launched the
National Clearing System to replace the local clearing systems provided
by 105 clearing operators. In the initial launch, the Bank Indonesia
National Clearing System (SKNBI) commenced operation in the Jakarta area
on 29 July 2005.
Before the SKNBI, if a bank customer wanted to transfer funds to another bank in a different region or outside the local clearing area, the transfer would take considerable time and incur high bank charges. Why was this? Bank staff would have to process the funds transfers to different local clearing areas in other regions operating with different mechanisms. “The differences in local clearing mechanisms inevitably resulted in added processing time and higher costs.”
Moreover, the multilateral netting clearing system in operation between local clearing areas carried risks not covered by any existing mechanism, for example, if a clearing member defaulted on settlement of clearing results. To overcome this risk, BI, the clearing operator, introduced the failure to settle (FtS) mechanism. The FtS mechanism is related to the launching of the SKNBI.
Under the FtS, SKNBI member banks are required to set up a prefund in their settlement accounts at BI. The prefund will then be used to settle all the clearing obligations of member banks towards other banks. The SKNBI enables more rapid, secure, reliable and efficient processing of interbank transfers, an important part of the national payment system.
Moreover, the SKNBI supports the paperless processing of interbank credit transfers to any part of Indonesia, thus doing away with the need for physical instruments as is the norm for local clearing systems. The paperless operation of transfers will also reduce bank operating costs otherwise expended on preparation of paper instruments and support more cost-efficient administration. “Banks are steadily expanding their service outreach to customers.”
For BI itself, a key benefit of the SKNBI is time and cost efficiency, as paper instruments are no longer required. The SKNBI supports more extensive coverage of funds transfer services through clearing by providing an interregional clearing system for credit transfers. It also ensures compliance with risk management principles for the operation of multilateral netting clearing systems as stipulated in the Core Principles issued by the Bank for International Settlements (BIS).
About the Clearing System
What then is the SKNBI? It is the BI clearing system that encompasses debit clearing and credit clearing with settlement processed on a nationwide basis. Clearing itself is defined as the exchange of paper instruments or Electronic Financial Data (EFD) among clearing members for the account of the customers of clearing member banks or for the account of the banks themselves, with settlement conducted within a specified timeframe.
At this time, four clearing systems are in operation. The four systems are the Electronic Clearing System in Jakarta, the Automated Clearing System in Surabaya and Medan, the semi-automated local clearing system operating in 33 clearing areas managed by BI and 37 clearing areas managed by non-BI parties and the manual system used by 31 non-BI operators.
The SKNBI itself operates with two sub-systems: debit clearing and credit clearing. Debit clearing involves incoming and return clearing for interbank debit transfers supported by paper instruments, such as bilyet giro, cheques, debit notes and others. Debt clearing operates locally within each clearing area, and is carried out by the Local Clearing Operator. The Local Clearing Operator then calculates the debit clearing result based on debit EFD sent in by member banks. Funds transfers processed in debit clearing are not subject to any limit on amount.
Credit clearing, on the other hand, involves the paperless processing of credit transfers between banks. The credit clearing operator processes credit transfers nationwide. The National Clearing Operator is normally managed by a special unit at the BI Head Office in Jakarta. The credit clearing results are calculated by the National Clearing Operator on the basis of credit EFD sent in by members. The maximum amount that may be transferred through credit clearing is Rp 100 million. Any transfers above this amount must be processed through the BI Real Time Gross Settlement (RTGS) system.
Clearing Surplus & Deficit
Not long ago, there were widespread reports of banks sustaining a clearing deficit. Lack of information and customer misunderstandings led to panic and massive withdrawals of funds. In fact, a clearing deficit or clearing surplus for a bank is quite the norm. It is easily possible that at one time a bank experiences a clearing deficit, but at another time books a clearing surplus.
What then is meant by clearing deficit? A clearing deficit arises when a bank has payment obligations that exceed claims. When a bank has a clearing deficit, these payment obligations will be covered from the cash prefund provided by the bank. If there is insufficient cash prefund, the shortfall will be taken from the demand deposit account held by the bank at BI. If these funds are still insufficient, the bank may avail the Clearing Intraday Liquidity Facility. If even after all this, there are still not enough funds, the remaining obligation can be covered by bank-held securities converted into a Short-Term Funding Facility.
On the other hand, when a bank has a clearing surplus, it receives more in claims during one clearing day compared to liabilities. When the bank has a clearing surplus or a credit position, the entire cash prefund advanced before clearing is returned to the settlement account of the bank, added to which is the crediting of the clearing result.
Clearing Charges
How much are the clearing charges? By any standard, not much. For debit clearing in a clearing area with automatic sorting of debit items, the charge is Rp 1,500 per transaction. For debit clearing in a clearing area with manual sorting of debit items, the charge is Rp 1,000 per transaction. Credit clearing is charged at Rp 1,000 per transaction. Daily average volume currently stands at about 300,000 transaction items.
(source www.bi.go.id)
Before the SKNBI, if a bank customer wanted to transfer funds to another bank in a different region or outside the local clearing area, the transfer would take considerable time and incur high bank charges. Why was this? Bank staff would have to process the funds transfers to different local clearing areas in other regions operating with different mechanisms. “The differences in local clearing mechanisms inevitably resulted in added processing time and higher costs.”
Moreover, the multilateral netting clearing system in operation between local clearing areas carried risks not covered by any existing mechanism, for example, if a clearing member defaulted on settlement of clearing results. To overcome this risk, BI, the clearing operator, introduced the failure to settle (FtS) mechanism. The FtS mechanism is related to the launching of the SKNBI.
Under the FtS, SKNBI member banks are required to set up a prefund in their settlement accounts at BI. The prefund will then be used to settle all the clearing obligations of member banks towards other banks. The SKNBI enables more rapid, secure, reliable and efficient processing of interbank transfers, an important part of the national payment system.
Moreover, the SKNBI supports the paperless processing of interbank credit transfers to any part of Indonesia, thus doing away with the need for physical instruments as is the norm for local clearing systems. The paperless operation of transfers will also reduce bank operating costs otherwise expended on preparation of paper instruments and support more cost-efficient administration. “Banks are steadily expanding their service outreach to customers.”
For BI itself, a key benefit of the SKNBI is time and cost efficiency, as paper instruments are no longer required. The SKNBI supports more extensive coverage of funds transfer services through clearing by providing an interregional clearing system for credit transfers. It also ensures compliance with risk management principles for the operation of multilateral netting clearing systems as stipulated in the Core Principles issued by the Bank for International Settlements (BIS).
About the Clearing System
What then is the SKNBI? It is the BI clearing system that encompasses debit clearing and credit clearing with settlement processed on a nationwide basis. Clearing itself is defined as the exchange of paper instruments or Electronic Financial Data (EFD) among clearing members for the account of the customers of clearing member banks or for the account of the banks themselves, with settlement conducted within a specified timeframe.
At this time, four clearing systems are in operation. The four systems are the Electronic Clearing System in Jakarta, the Automated Clearing System in Surabaya and Medan, the semi-automated local clearing system operating in 33 clearing areas managed by BI and 37 clearing areas managed by non-BI parties and the manual system used by 31 non-BI operators.
The SKNBI itself operates with two sub-systems: debit clearing and credit clearing. Debit clearing involves incoming and return clearing for interbank debit transfers supported by paper instruments, such as bilyet giro, cheques, debit notes and others. Debt clearing operates locally within each clearing area, and is carried out by the Local Clearing Operator. The Local Clearing Operator then calculates the debit clearing result based on debit EFD sent in by member banks. Funds transfers processed in debit clearing are not subject to any limit on amount.
Credit clearing, on the other hand, involves the paperless processing of credit transfers between banks. The credit clearing operator processes credit transfers nationwide. The National Clearing Operator is normally managed by a special unit at the BI Head Office in Jakarta. The credit clearing results are calculated by the National Clearing Operator on the basis of credit EFD sent in by members. The maximum amount that may be transferred through credit clearing is Rp 100 million. Any transfers above this amount must be processed through the BI Real Time Gross Settlement (RTGS) system.
Clearing Surplus & Deficit
Not long ago, there were widespread reports of banks sustaining a clearing deficit. Lack of information and customer misunderstandings led to panic and massive withdrawals of funds. In fact, a clearing deficit or clearing surplus for a bank is quite the norm. It is easily possible that at one time a bank experiences a clearing deficit, but at another time books a clearing surplus.
What then is meant by clearing deficit? A clearing deficit arises when a bank has payment obligations that exceed claims. When a bank has a clearing deficit, these payment obligations will be covered from the cash prefund provided by the bank. If there is insufficient cash prefund, the shortfall will be taken from the demand deposit account held by the bank at BI. If these funds are still insufficient, the bank may avail the Clearing Intraday Liquidity Facility. If even after all this, there are still not enough funds, the remaining obligation can be covered by bank-held securities converted into a Short-Term Funding Facility.
On the other hand, when a bank has a clearing surplus, it receives more in claims during one clearing day compared to liabilities. When the bank has a clearing surplus or a credit position, the entire cash prefund advanced before clearing is returned to the settlement account of the bank, added to which is the crediting of the clearing result.
Clearing Charges
How much are the clearing charges? By any standard, not much. For debit clearing in a clearing area with automatic sorting of debit items, the charge is Rp 1,500 per transaction. For debit clearing in a clearing area with manual sorting of debit items, the charge is Rp 1,000 per transaction. Credit clearing is charged at Rp 1,000 per transaction. Daily average volume currently stands at about 300,000 transaction items.
(source www.bi.go.id)
Minggu, 23 September 2012
Sekilas tentang Disaster Recovery Center (DRC)
Tulisan ini didasari karena di perusahaan
tempat saya bekerja sekarang telah dibangun DRC (Disaster Recovery
Center) sebagai backup Data Center di Kantor Pusat yang akan segera
diaktifkan. Arti penting DRC bagi kelancaran sistem IT di sebuah
perusahaan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Setiap organisasi memiliki sejumlah
rangkaian proses utama (core processes) yang biasanya ditunjang oleh
beragam teknologi informasi dan komunikasi (TIK) agar tercipta suatu
mekanisme kerja yang efektif, efisien, dan terkendali dengan
baik. Melihat bahwa core processes merupakan suatu penting yang harus
selalu dijaga kinerjanya dalam arti kata tidak boleh sampai terjadi
peristiwa dimana core processes terhenti aktivitasnya yang berarti pula
perusahaan tidak dapat menciptakan produk dan/atau jasa yang seharusnya
dihasilkan maka perusahaan harus memikirkan cara atau strategi dalam
menghadapi sejumlah risiko yang berpotensi mengganggu jalannya aktivitas
produksi tersebut.
Penggunaan teknologi informasi telah
menjadi kebutuhan pokok bagi aktifitas organisasi, sehingga apabila
layanan tersebut terhenti maka efeknya sangat serius, yaitu timbulnya
berbagai resiko operasional, resiko reputasi dan reputasi pasar.
Pencegahan terhadap resiko-resiko tersebut yang diakibatkan oleh bencana
(disaster) seperti kebakaran, gempa bumi, banjir, tsunami dll dapat
dilakukan dengan menyusun rencana pemulihan bencana (Disaster Recovery
Plan/DRP) dengan dukungan DRC (Disaster Recovery Center) sebagai
tempat/area penyimpanan serta pengolahan data dan informasi pada saat
terjadinya bencana yang mengakibatkan Data Center yang ada mengalami
gangguan temporary, sebagian atau bahkan rusak total sehingga memerlukan
waktu yang lama untuk melakukan pemulihan. Core processes merupakan
suatu proses penting yang harus selalu dijaga kinerjanya. Hal ini
dilakukan dengan melindungi core process dari sumber-sumber yang berasal
dari bencana alam, virus, terorisme, malicious acts dari dalam maupun
luar serta unpredictable source lainnya. salah satu upaya untuk
mengantisipasi bila hal-hal tersebut terjadi adalah dengan membangun
sebuah Disaster Recovery Center (DRC). Dimana jika terjadi gangguan
serius yang menimpa satu atau beberapa unit kerja penting di perusahaan
seperti pusat penyimpanan dan pengolahan data dan informasi proses
produksi tetap berjalan sebagaimana mestinya karena ada DRC yang
mengambil alih fungsi unit yang “rusak” tersebut.
Disaster Recovery Center
merupakan suatu fasilitas dalam perusahaan yang berfungsi untuk
mengambil alih fungsi suatu unit ketika terjadi gangguan serius yang
menimpa satu atau beberapa unit kerja penting di perusahaan, seperti
pusat penyimpanan dan pengolahan data dan informasi. DRP (Disaster
Recovery Plan) dan Disaster Recovery Center (DRC) sudah bukan hal yang
baru di dunia IT Indonesia, bahkan Bank Indonesia telah mensyaratkan
seluruh bank agar memiliki DRP/DRC contohnya adalah ketika terjadi
malapetaka yang menimpa sejumlah perusahaan besar dunia yang bermarkas
di world trade center tetap dapat beroperasi (segera pulih kegiatan
operasionalnya dalam waktu cepat), karena mereka telah mempersiapkan
sejumlah DRC untuk mengantisipasi bencana yang tidak dikehendaki
tersebut.
Secara umum DRC berfungsi untuk:
- Meminimalisasi kerugian finansial dan nonfinansial dalam meghadapi kekacauan bisnis atau bencana alam meliputi fisik dan informasi berupa data penting perusahaan
- Meningkatkan rasa aman di antara personel, supplier, investor, dan pelanggan
Membuat penambahaan Data Center, di
lokasi yang aman dan terpisah digunakan hanya jika terjadi bencana, akan
mengurangi efektifitas biaya dari masalah, dan akan menjadi kekuatan
untuk menduplikat biaya di lokasi, sumberdaya, link komunikasi dan
lainnya. Akan menghandle semua tugas yang berhubungan dalam mengatur
profesional DRC, sehingga bisnis dapat terus berjalan. DRC yang kita
tawarkan akan mempunyai fitur keamanan, dalam menjaga data center
seperti mempunyai asuransi untuk bisnis continuity. Di banyak institusi
beberapa membangun DRC di Bali dan sebagian ada di Bandung sedangkan
perusahaan yang bertaraf internasional biasanya di Singapura atau di
Hongkong contohnya BCA.
Mengingat betapa penting sekali bisnis
continuity dalam sebuat organisasi, ada 3 pilihan type DRC yang sesuai
dengan kondisi alokasi anggaran organisasi, yaitu :
- Cold DRC
Cold DRC ini menyediakan sistem yang sama
seperti dilokasi data center di organisasi dimana aplikasi dan data
akan diupload sebelum fasilitas DRC bisa digunakan, namun proses
pemindahan dari data center ke lokasi DRC akan dilakukan secara manual.
- Warm DRC
Warm DRC akan menyediakan komputer dengan
segala komponennya, aplikasi, link komunikasi, serta backup data yang
paling update, dimana system tidak otomatis berpindah tetapi masih
terdapat proses manual meskupun dilakukan seminimal mungkin.
- Hot DRC
Hot DRC ini mengatur secepat mungkin
operasional bisnis, sistem dengan aplikasi, link komunikasi yang sama
sudah di pasang dan sudah tersedia di lokasi DRC, data secara continu
dibackup menggunakan koneksi live antara data center dan lokasi DRC, dan
operasional bisnis akan berjalan pada saat itu juga, tanpa harus
mematikan sistem di data center lama.
Membangun sebuah DRC yang baik, bukanlah
suatu hal yang mudah, bahkan beberapa praktisi mengategorikannya sebagai
sebuah aktivitas kompleks, karena di dalamnya terdapat beragam aspek
dan komponen yang membutuhkan perhatian khusus dan serius. oleh karena
itu, yang perlu dipelajari dan dipahami sungguh-sungguh oleh mereka yang
ingin merencanakan dan mengembangkan DRC adalah metodologi
pembangunannya. metodologi yang baik akan menekankan pada aspek-aspek
sebagai berikut:
- memberikan gambaran yang jelas kepada manajemen mengenai besarnya usaha yang harus dilakukan dalam merencanakan, mengembangkan, dan memelihara sebuah DRC.
- menggalang komitmen penuh dari seluruh manajemen dan karyawan di berbagai lapisan organisasi untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengembangan DRC.
- mendefinisikan kebutuhan recovery dipandang dari berbagai perspektif bisnis
- memperlihatkan dampak kerugian yang akan diderita perusahaan jika DRC tidak segera dibangun.
- memfokuskan diri pada pencegahan terjadinya gangguan dan mencoba untuk meminimalisasikan dampak negatif yang terjadi, walaupun tetap dipersiapkan berbagai usaha reaktif (recovery) seandainya gangguan tersebut benar-benar terjadi.
- memudahkan proses pemilihan anggota tim yang bertangung jawab di dalam proses pengembangan DRC.
- menghasilkan sebuah perencanaan recovery yang mudah dipahami, mudah diterapkan, dan mudah dipelihara.
- mendefinisikan secara jelas bagaimana keberadaan DRC tersebut terintegrasi secara baik dengan sejumlah entiti bisnis lain yang dalam keadaan normal tetap berjalan.
Adapun metodologi perencanaan dan pengembangan DRC yang baik paling tidak harus memperhatikan 8 (delapan) tahapan utama, yaitu:
- pre-planning activities (project initiation), merupakan tahap persiapan untuk menjamin bahwa seluruh pimpinan dan jajaran manajemen perusahaan paham betul mengenai karakteristik dan perlunya DRC dibangun.
- vulnerability assessment and general definition of requirements, merupakan kajian terhadap potensi gangguan yang dapat terjadi karena kerapuhan sistem dan usaha untuk mendefinisikan kebutuhan akan DRC yang dimaksud.
- business impact assessment, merupakan analisa terhadap dampak bisnis yang akan terjadi seandainya gangguan tersebut terjadi pada kenyataannya.
- detailed definition of requirements, merupakan proses mendefinisikan kebutuhan secara lebih rinci setelah proses kajian terhadap dampak bisnis selesai dilakukan, sehingga perusahaan dapat memfokuskan diri secara tepat (karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki).
- plan and center development, merupakan tahapan membangun perencanaan dan DRC yang dimaksud sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang telah didefinisikan sebelumnya.
- testing and exercising program, merupakan rangkaian usaha uji coba atau latihan kinerja DRC dengan cara mensimulasikan terjadinya gangguan yang dimaksud.
- execution, merupakan suatu rangkaian proses dimana DRC beroperasi sejalan dengan aktivitas bisnis sehari-hari perusahaan dalam keadaan normal.
- maintenance and evaluation, merupakan usaha untuk memelihara dan mengevaluasi kinerja DRC dari waktu ke waktu agar selalu berada dalam kondisi yang prima dan siap pakai.
Infrastruktur disaster recovery mencakup
fasilitas data center, wide area network (WAN) atau telekomunikasi,
local area network (LAN), hardware, dan aplikasi. Dari tiap bagian ini
kita harus menentukan strategi Disaster Recovery yang paling tepat agar
dapat memberikan solusi yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan bahwa
sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam penyediaan layanan
di mana mereka harus memberikan layanan (yang kadang-kadang berlebihan).
Misalnya mereka siap bekerja jam 12 malam atau di luar jam kerja.
Artinya dibutuhkan adanya “operator” yang standby 24 jam/hari. Hal
tersebut dapat menjadi kendala yang perlu dipertimbangkan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam membangun dan negosiasi kontrak DRC:
- DRC harus berada di daerah aman tapi dalam jarak yang terjangkau dari lokasi yang akan dilayaninya.
- perjanjian kontrak harus mengidentifikasikan sumber-sumber secara spesifik dan pelayanan yang akan disediakan.
- perjanjian kontrak sebaiknya berisi batasan jumlah maksimum pelanggan lain yang berlokasi sama dengan wilayah layanan perusahaan perusahaan bersagkutan.
- perjanjian kontrak harus menspesifikasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menanggapi laporan dari client.
Ada dua kelemahan perencanaan dan implementasi DRC, khususnya di Indonesia. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.
- DRP/DRC masih dianggap sebagai suatu kelengkapan yang dilakukan hanya sekali saja. Banyak perusahaan yang merasa tenang setelah memiliki DRP/DRC, tidak pernah mereviewnya lagi selama bertahun-tahun. Perlu diingat bahwa perancangan DRP/DRC dimulai dengan mengidentifikasikan risk dan secara bertahap memprediksi dampaknya terhadap bisnis. Berdasarkan itulah muncul daftar prioritas yang harus diantisipasi kejadiannya dan dipersiapkan langkah penaggulangannya jika ancaman yang dikhawatirkan tersebut terjadi. Banyak perusahaan tidak menyadari (atau tidak mau tahu) bahwa di sisi penyebab, ‘bentuk-bentuk ancaman baru bermunculan‘ . Di ujung yang lain, ‘tuntutan bisnis bisa berubah‘, yang tadinya internet banking tidak dianggap krusial, menjadi krusial karena semakin banyak nasabah pengguna internet banking. Tentunya dinamika ini akan mengubah daftar ancaman serta skala prioritasnya. Sudah barang tentu, sebagai akibatnya DRP/DRC yang sudah disusun harus disesuaikan dengan perubahan tersebut. Bayangkan, apakah DRP/DRC yang sudah bertahun-tahun tidak pernah direview dan disesuaikan akan masih efektif?
- DRP/DRC tidak diuji dengan memadai. Tidak sedikit perusahaan yang sudah memiliki DRP/DRC melakukan pengujian yang terbatas, pada kondisi yang sudah dipersiapkan, dan tidak dilakukan pada kondisi pengujian yang mendekati keadaan disaster yang sebenarnya. Pada keadaan disaster, semua orang berada dalam keadaan panik dan tidak semua resources tersedia seperti dalam keadaan normal, sehingga latihan yang dipersiapkan secara khusus mungkin tidak cukup mewakili atau mendekati keadaan disaster tersebut. Perlu sedikit keberanian untuk menguji DRP/DRC kita pada keadaan operasi normal. Jika tidak berani, bukankah itu menandakan bahwa masih ragu dengan kinerja dan kehandalan DRP/DRC?
Membangun DRC yang baik tentu saja
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perusahaan yang biasanya memutuskan
untuk membangun DRC adalah mereka yang memiliki karakteristik usaha
sebagai berikut:
- Resiko terjadinya gangguan cukup tinggi karena nature dari proses atau teknologi yang dipakai di dalam menunjang core processes yang ada – misalnya dalam mengimplementasikan internet banking, remote trading, e-auction, dan lain sebagainya;
- Resiko gangguan yang terjadi berpotensi mengganggu sejumlah besar (mayoritas) proses atau aktivitas yang sangat kritikal bagi kelangsungan hidup perusahaan – misalnya terkait dengan automated teller machine, corporate electronic payment system, automatic procurement system, dan lain sebagainya; dan
- Resiko gangguan melekat pada sejumlah proses bernilai tinggi (value-added processes), yaitu serangkaian aktivitas dimana: terkait langsung dengan mekanisme penciptaan produk atau jasa, bersifat mutlak dilakukan oleh perusahaan agar tidak kehilangan sumber pendapatan, dan pelanggan “is willing to pay” untuk keberadaan proses tersebut.
Prosedur Business Continuity Plan (BPC)
DRC diperlukan oleh perusahaan untuk
mengatasi dampak dari bencana yang mungkin terjadi. Untuk itu diperlukan
suatu proses perencanaan yang matang agar implementasi DRC berjalan
efektif dan efisien. Rencana yang disusun tidak hanya mencakup aktivitas
data processing, tetapi meliputi semua aspek di luar operasi data processing. Rencana tersebut harus meliputi prosedur yang telah diuji untuk meyakinkan keberhasilan proses recovery saat bencana benar-benar terjadi. Rencana yang sudah tersusun didokumentasikan dalam bentuk tulisan
Prosedur Disaster Recovery Plan merupakan penjabaran teknis tentang langkah-langkah atau proses pelaksanaan kegiatan recovery. Adapun kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahap ini adalah :
- Reduction/Readiness/Prevention adalah kegiatan untuk mereduksi dampak disaster terhadap sistem kritikal yang digunakan dan persiapan tentang segala hal yang diperlukan untuk melindungi sistem kritikal pada saat terjadi disaster.
- Response merupakan kegiatan yang harus dilakukan pertama kali pada saat terjadi disaster. Kegiatan yang dilaksanakan biasanya berupa kegiatan-kegiatan penaggulangan terkait dengan bisnis atau BCP, ditambah dengan proses analisis dampak disaster serta pengambilan keputusan mengenai kegiatan apa yang dilakukan untuk melakukan recovery terhadap sistem TI yang kritikal berdasarkan dampak disaster yang timbul.
- Recovery merupakan kegiatan untuk memulihkan fungsi sistem TI yang kritikal dengan kapasitas sama persis atau kurang dari kapasitas sistem TI kritikal pada kondisi normal. Biasanya hasil dari kegiatan ini merupakan pemulihan sistem yang bersifat sementara, dimana akan ada kegiatan untuk mengembalikan fungsi sistem TI yang kritikal dengan kapasitas sama dengan atau bahkan lebih dari kapasitas sistem normal sebelumnya. Strategi recovery tertentu yang diputuskan bisa diterapkan pada seluruh sistem TI yang Kritikal yang terimbas disaster.
- Restoration/Normalization merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengembalikan sistem TI kritikal beserta sistem pendukungnya pada fungsi dan kapasitas minimal seperti sebelum terjadinya disaster.
Kamis, 30 Agustus 2012
Perlu Efisiensi Dana Pensiun
RAPBN 2013
Jakarta,
Kompas - Dana pensiun pada 2013 dianggarkan senilai Rp 74 triliun.
Persentasenya mencapai sekitar 30 persen dari total belanja pegawai.
Namun, hal itu tidak bisa semata-mata dilihat sebagai tekanan kepada
anggaran pemerintah, tetapi dana pensiun harus dilihat sebagai bentuk
investasi sosial yang layak diberikan negara.
”Menurut
saya, Rp 74 triliun itu memang besar. Tapi, itu harus dilihat sebagai
investasi sosial. Persoalannya bagi saya adalah pada tingkat
implementasi. Apakah alokasi itu bisa mendorong jaminan sosial yang
lebih baik?” kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko di
Jakarta, Kamis (23/8).
Menteri
Keuangan Agus DW Martowardojo, seperti dikutip Antara, kemarin,
menyatakan, pertumbuhan dana pensiun pada 2013 Rp 74 triliun sehingga
menekan anggaran. Oleh karena itu, pembenahan terhadap program pensiun
pegawai negeri sipil (PNS) tengah dilakukan.
Dana
pensiun, menurut Prasetyantoko, merupakan bentuk jaring pengaman
sosial. Substansinya adalah melindungi orang-orang yang ketika sudah
selesai masa produktifnya tidak mengalami degradasi kehidupan secara
drastis. Pada sisi sosial, ini adalah tugas negara. Namun, dari sisi
ekonomi, ini berarti juga mempertahankan daya beli masyarakat.
”Asal
tidak bocor, asal tidak salah sasaran, dan asal tidak menguap, itu
layak diupayakan seperti halnya 20 persen untuk pendidikan. Meski besar,
itu diperlukan untuk investasi sosial. Persoalannya, inefisiensi pasti
terjadi di sana-sini. Ini yang perlu ditertibkan,” kata Prasetyantoko.
Dalam
nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
2013 disebutkan, dana pensiun dan asuransi kesehatan yang dianggarkan
total senilai Rp 77,3 triliun tumbuh Rp 8,1 triliun atau 11,7 persen
dibandingkan dengan pagu APBN-P 2012. Peningkatan ini terutama disebabkan kebijakan kenaikan pensiun pokok sebesar rata-rata 7 persen.
Kebijakan
ini berlaku pula untuk gaji pokok pegawai negeri sipil dan TNI/Polri
yang dianggarkan menjadi Rp 112,2 triliun pada 2013 atau 46,5 persen
dari total belanja pegawai. Ini meningkat Rp 10,9 triliun atau 10,7
persen dari pagu APBN-P 2012.
(LAS)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/08/24/02272491/perlu.efisiensi.dana.pensiun
Kamis, 19 April 2012
Kliring Kilat Sinar Dulu Baru Suaranya....:)
Bank Indonesia meluncurkan mekanisme penyelesaian transaksi (setelmen) untuk transfer kredit pada Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dari yang sebelumnya hanya dua kali sehari menjadi empat kali sehari. Hal tersebut sebagai upaya meningkatkan pelayanan sistem pembayaran non tunai bagi masyarakat melalui SKNBI. Dulu, sistem otomatis kliring hanya dilakukan dua kali sehari, yakni pukul 12.00 dan 16.00. Sekarang, dengan Si Kilat, proses kliring dilakukan 4 kali, yakni pukul 10.00, 12.00, 14.00, dan 16.00.
Senin, 09 April 2012
Langganan:
Postingan (Atom)