Kamis, 30 Oktober 2008

Liputan Blog Via Suara Merdeka

SEMARANG & SEKITARNYA

30 Oktober 2008
Blogger Tak Hanya Eksis di Dunia Maya

SEMARANG- Memperingati Hari Blogger Nasional yang jatuh pada 27 Oktober, komunitas blogger di Semarang yang tergabung dalam Loenpia.net akan mengadakan kegiatan.

Menurut Dian Adi, anggota Loenpia.net, pihaknya akan melaksanakan program 1.000 buku. Buku-buku hasil sumbangan dari para blogger itu, selanjutnya akan disumbangkan kepada orang yang membutuhkan. “Ini merupakan bentuk nyata keberadaan blogger yang tidak hanya eksis di dunia maya, tapi juga peduli dengan sesama,” tuturnya saat ditemui di Java Mall, Senin (27/10) malam.

Pendonasian buku itu merupakan kerja sama leonpia.net dengan para blogger di Jakarta yang tergabung dalam BHI. Selain itu, pihaknya dalam waktu dekat juga berencana mengadakan donor darah yang nantinya disumbangkan bagi bank darah PMI. Kegiatan sosial merupakan agenda rutin yang diadakan leonpia.net setiap tahunnya. Tahun lalu, komunitas ini juga mengadakan penanaman mangrove di pantai. “Kegiatan sosial seperti itu menyatukan para blogger di Semarang. Kami ingin komunitas ini berguna bagi sesama,” katanya. (H23-56)

Rabu, 29 Oktober 2008

Salim Bukan Karyawan Bank Tapi Pelukis

Seperti dikutip di harian Suara Merdeka
kolom
HIBURAN & SENI

29 Oktober 2008
”I Love You Full, Ha-ha-ha...”

TRUBADUR tua itu berdiri di panggung, berambut gimbal, mencangklong gitar buntung. Dia bukan Bob Marley, bukan Jimi Hendrix. Dialah Mbah Surip, penyanyi eksentrik yang kondang dengan tembang-tembang balada berlirik unik.

Minggu (26/10) siang, Mbah Surip tampil pada tasyakuran haji di rumah pelukis Agus Salim di Gedanganak, Ungaran. Menarik, dia berkolaborasi dengan kelompok rebana Jamiatul Hasanah. Simbah bohemian itu tak canggung. “I love you full, ha-ha-haÖ” Sapa Mbah Surip kepada para tamu. “I love you full juga, Mbah,” sahut mereka seraya tertawa.

Mbah Surip penghibur sejati. Dia sanggup mengajak hadirin yang lebih menyerupai jamaah pengajian itu bernyanyi. “Saya mau nyanyi lagu ‘Rasullullah’. Lagu ini saya ciptakan selama 48 tahun, ha-ha-ha-haÖ Ayo, semua nyanyi bersama Mbah Surip ya? Alif fatah a, alif kasroh i, alif domah u, a i u...”

Meski malu-malu, mereka nyanyi juga, mengikuti syair lagu yang didendangkan Mbah Surip. Usai lagu pembuka, seniman kelahiran Mojokerto bernama asli Urip Ariyanto itu menyambung dengan tembang berikutnya, yang lebih populer, “Bangun Tidur”. Tanpa dikomando, sebagian hadirin yang kenal lagu itu pun bernyanyi. “Bangun tidur/tidur lagi. Bangun lagi/tidur lagi. BanguuunÖ/tidur lagiÖ”
Komedial
Interaktif, itulah kekuatan panggung Mbah Surip. Lagu-lagunya yang bersahaja, dengan lirik sederhana dan jenaka, gampang dicerna. Hanya dengan sekali dengar, penonton langsung bisa mengikuti.

Kekuatan lain Mbah Surip ada pada aksi panggung yang komedial. Alih-alih menyelimurkan, dia justru mengeksplorasi vokalnya yang pas-pasan. Lelaki 50 tahun yang kenyang kehidupan jalanan itu jago ndagel. Tak cuma dengan bahasa tubuh, tetapi juga lewat ungkapan verbal.

“Sekarang saya ingin ngarang lagu bareng warga Ungaran. Yang pertama judulnya ‘Diam Bersama’... Selesai, ha-ha-ha. Berikutnya ‘Saling Memandang’, ha-ha-ha....”

Setelah mendendangkan “Telor Mata Sapi” dan “Kolam Susu” (milik Koes Plus), Mbah Surip bilang hendak menuntaskan penampilan dengan tembang “Mohon Pamit”. Seperti “Diam Bersama” dan “Saling Memandang”, dia tak menyanyikan apa-apa. Dia diam sebentar, sebelum mengucap “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, ha-ha-ha....”

Dari musiklah memang Mbah Surip lebih dikenal orang. Dia pernah bernyanyi di televisi dan jadi model video klip lagu “Kangen” yang dinyanyikan Evie Tamala. Dia juga penggagas ajang “Friday Jazz” di Ancol serta pemegang rekor Muri sebagai penyanyi terlama, yakni 60 jam, tahun 2005.

Bertahun-tahun bermusik, Mbah Surip telah mengoleksi delapan album rekaman: Ijo Royo-royo, Siti Maelan, Indonesia Satu, Bonex, Mak Erot, Barang Baru, Bangun Tidur, dan Anak Sastrawan. “Album-album saya kalah saingan sama Samsons dan Peterpan. Tapi nggak papa, yang penting I love you full, ha-ha-ha....” (Rukardi-53)

"Hidup Cukup"

Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap pagi puluhan orang antre untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki-ada empal, telur, semur daging, tempe goreng-ludes habis. Begitu setiap hari, 20 tahun lebih.

Pertengahan 1980-an, ekonomi Orde Baru tengah menanjak ke puncak ketinggiannya. Bang Uki, dengan ritme stabil batang pohon cabai yang terus berproduksi, belanja pukul satu dini hari, masak mulai pukul dua, berangkat pukul empat, dan seusai subuh telah menggelar barang dagangnya. Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh, ia sudah nongkrong di teras rumah, lengkap dengan kretek, gelas kopi, dan perkutut. "Tinggal nunggu lohor," tukasnya pendek.

Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya hingga lebih siang sedikit ditolak Bang Uki. "Buat apa?" tukasnya. "Gua udah cukup. Anak udah lulus es te em. Berdua bini gua udah naik haji. Apalagi?" Pernah sekali penulis jumpai ia sedang memasak di rumahnya. Langit di luar masih gelap. Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangan- nya lincah mengiris bawang merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. "Abah masih tidur," istrinya balas menegur.

Kini, 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensiun. Wajahnya penuh senyum. Hidupnya penuh, tak ada kehilangan. Kami yang kehilangan, masakan sedap khas Betawi. Kami sedikit tak rela. Bang Uki terlihat begitu ikhlasnya. Wajahnya terang saat ia dimandikan untuk kali terakhirnya. Dua jam berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan hidupnya.

Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di Pasar Jumat, Pak Haji Edeng tukang soto Pondok Pinang, pun begitu. Tukang pecel di Solo, gudeg di Yogya, nasi jamblang di Cirebon, atau bubur kacang hijau di Bandung, juga demikian. Mereka yang bekerja dan berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jika telah cukup, untuk apa bekerja lebih. Untuk apa hasil, harta atau uang berlebih? "Banyak mudaratnya," kilah Pak Haji Edeng.

Mungkin. Apa yang kini jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi tradisional negeri ini ternyata mengajarkan satu moralitas: hidup wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah Tuhan dan kekayaan alam bukan untuk kita keruk seorang. Manusia adalah makhluk sosial. Siapa pun mesti menenggang siapa pun.

Alternatif kapitalisme

Moralitas berdagang "Bang Uki" tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar perekonomian material- kapitalistik. Di mana prinsip laissez faire atau free will dan free market digunakan tak hanya untuk memberi izin bahkan mendesak setiap orang untuk "mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin". Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran universal dan hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya.

Dan siapa pun mafhum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi modern itu bukan hanya melahirkan orang-orang yang sangat kaya, bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli Ferrari seharga Rp 5 miliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi juga sejumlah besar orang yang hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan atau tidak hari ini.

Moralitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa filantrofisme, yang umumnya hanya berupa "pengorbanan" material yang hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang dimilikinya. George Soros, misalnya, dengan kekayaan 11 miliar dollar AS (hampir sepertiga APBN Indonesia), mengeluarkan 400 juta dollar (hanya sekitar 4 persen atau setara dengan bunga deposito) untuk berderma dan menerima simpati global di sekian puluh negara.

Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem Sioe Liong atau Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar kapitalisme di atas adalah dasar "legal" untuk meng- amini kekayaan itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh dari cara-cara kasar, telengas, ilegal bahkan atau-langsung dan tak langsung-dari merebut jatah rezeki orang lain.

Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih praktisnya adalah: Siapa berani? Tak seorang pun. Hingga sensus mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta orang- orang kaya dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang yang papa. Belahan kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.

Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan mana pun yang tersedia. Ia ada dan memiliki dunianya sendiri. Yang mungkin aneh, alienatif, marginal, tersingkir, luput, apa pun. Namun sesungguhnya, ia adalah sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme. Ia adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan (tepatnya ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.

Ekonomi cukup

Prinsip "hidup yang cukup" Bang Uki adalah landasan bagi sebuah "ekonomi cukup", di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia mengeksplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatas Tuhan-yang mereka percaya-menganjurkan atau membatasinya.

Bagaimana "cukup" itu didefinisi atau dibatasi, tak ada-bahkan tak perlu-ukuran dan standar. Seorang pengusaha dan profesional dapat mengukurnya sendiri dengan jujur: batas "cukup" bagi dirinya. Jika bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun, satpam atau lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua kendaraan kelas menengah, mengapa ia harus meraih lebih? Mengapa ia harus melipatgandakannya?

Apalagi jika usaha tersebut harus melanggar prinsip hidup, nilai agama, tradisi dan hal-hal lain yang semula ia junjung tinggi? Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghasilkan puluhan miliar tabungan, sekian rumah mewah peristirahatan bahkan jet pribadi, dapat dipastikan hal itu hanya akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia berupaya meraih, tetapi juga saat mempertahankannya.

Bila pengusaha tersebut berhasil men- "cukup"-kan dirinya, secara langsung ia telah mengikhlaskan kekayaan lebih yang tidak diperolehnya (walau ia mampu) untuk menjadi rezeki orang lain. Ini sudah sebuah tindak sosial. Dan tindak tersebut akan bernilai lebih jika "kemampuan lebihnya" itu ia daya gunakan untuk membantu usaha atau sukses orang lain. Sambil menularkan prinsip "ekonomi cukup", ia akan merasakan "sukses" atau kemenangan hidup yang bernuansa lain jika ia berhasil membantu sukses lain orang dan tak memungut serupiah pun uang jasa.

Maka, secara langsung satu proses pemerataan demi kesejahteraan bersama pun telah berlangsung. Palung atau sen- jang kekayaan pun menipis. Kesempatan meraih hidup yang baik dapat dirasakan semua pihak. Pemerintah dapat bekerja lebih efektif tanpa gangguan-gangguan luar biasa dari konflik-konflik yang muncul akibat ketidakadilan ekonomi.

Dan seorang pejabat, hingga presiden sekalipun, dapat pula mendefinisikan "cukup" baginya: jika seluruh kebutuhan hidupku, hingga biaya listrik, gaji pembantu hingga pesiar telah ditanggung negara, buat apalagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah sebuah revolusi. Dan revolusi membutuhkan keberanian, kekuatan hati serta perjuangan tak henti.

Maka, "cukuplah cukup". Kita sederhanakan sebagai prinsip hidup/ekonomi yang "sederhana". Kian sederhana, maka kian cukup kian sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya: semakin tinggi senjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita sehari-hari, makin sederhana, makin cukup dan sejahteralah kita.

Jika Anda mampu membeli Ferrari, mengapa tak mengonsumsi Mercedes seri E saja, atau Camry lebih baik, atau Kijang pun juga bisa. Dan dana lebih, bisa Anda gunakan untuk tindak-tindak sosial, untuk membuat harta Anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.

Beranikah Anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja